Air Mata Penyu Hijau Pulau Bangkaru

Posted on Updated on

Source : Kompas
Category : Species
Code : Edisi 9-22b
Date and Time of Publication : 03-August-06 — 07:07:34
Sumber: Kompas, 29 Mei 2006
Oleh: Ahmad Arif

Air mata penyu hijau menetes di sekeliling liang besar, tempat dia meletakkan telur-telurnya. Dengan air matanya itu, sang penyu berharap biawak, pemangsa alami telur penyu yang mengandalkan penciuman, akan kesulitan mencari posisi di mana telur-telur itu diletakkan. Penyu hijau (Chelonia mydas) yang panjangnya sekitar 80 sentimeter itu melangkah pelan meninggalkan Pantai Amandangan di Pulau Bengkaru, dan kembali ke Samudra Hindia. Malam yang dingin dan penuh perjuangan telah usai, dan sepertinya semuanya lancar.
Namun, ternyata tidak juga. Biawak mungkin saja tertipu, tetapi manusia tidak. Esok paginya, dua pencari telur penyu dengan mudah menemukan telur-telur itu. Dengan besi panjang yang ditusuk-tusukkan ke seputar liang berdiameter sekitar 1,5 meter itu, kedua pencari telur penyu di Pulau Bengkaru tak kesulitan menemukannya. Pagi itu, telur penyu hijau yang berhasil mereka kumpulkan dari tiga liang mencapai 350 butir.
Semua telur penyu itu mereka bawa ke gubuk kayu sekitar dua kilometer dari tempat pendaratan penyu-penyu itu. Di sana telur itu dibersihkan, dijemur beberapa saat, dan kemudian dimasukkan ke karung bersama telur penyu yang dikumpulkan hari-hari sebelumnya. Selain telur penyu hijau, Pulau Bengkaru juga menjadi tempat bertelur penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) yang sangat langka. “Seminggu sekali juragan Sumali akan mengambil telur ini sambil membawa perbekalan makanan, rokok, dan obat-obatan untuk kami,” kata salah seorang pencari telur itu. Juragan Sumali (36) adalah pengusaha lokal dari Pulau Balai, Kecamatan Kepulauan Banyak, Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Adiknya, Risman (34), menjadi pemegang kontrak pengelolaan telur penyu di Bengkaru dengan Pemerintah Kabupaten Singkil berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Nomor 973/475/2005 yang ditandatangani Risman selaku pengusaha, dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Singkil Sjamsuddin Rizzard atas nama Bupati Singkil, tanggal 23 Oktober 2005.
Selembar surat itulah yang membuat Risman dan Sumali serasa menjadi pemilik pulau itu—setidaknya hal itu yang diungkapkan penduduk lokal mengenai keduanya.
“Pengambilan telur penyu di Bengkaru tak melanggar aturan. Kami punya perjanjian kontrak dengan Pemkab Singkil,” kata Sumali. Katanya, tiap bulan dia harus menyetor Rp 1 juta ke Dispenda Kabupaten Singkil atas hak pengelolaan telur penyu di pulau seluas 12.000 hektar yang tak berpenghuni itu.
Sumali juga mengaku harus mengeluarkan Rp 1,6 juta setiap bulan untuk membayar sejumlah pejabat di lingkungan Kecamatan Pulau Banyak hingga di Kabupaten Singkil. Untuk mengambil telur penyu di Bengkaru yang berjarak sekitar 58 mil dari Singkil atau 36 mil dari Pulau Balai, dia harus mengeluarkan Rp 500.000 untuk membeli solar kapalnya.
Sumali membayar dua pekerjanya dengan membeli Rp 225 per butir telur yang mereka kumpulkan. Sumali kemudian menjual Rp 700 per butir telur kepada para pedagang di Singkil ataupun di Sibolga, Sumatera Utara. Di Medan, telur penyu itu dijual Rp 1.500-Rp 2.000 per butir.
“Sekarang keuntungannya semakin kecil. Jumlah penyu yang bertelur di Bengkaru semakin berkurang, satu malam sekarang rata-rata tiga hingga lima ekor sehingga tak setara dengan biaya operasional,” kata Sumali.

Terus menurun
Menurut catatan Muhammad Tachsis, pegawai Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) NAD yang bertugas di Kepulauan Banyak, tahun 1982 penyu yang bertelur di Pantai Amandangan, Pulau Bengkaru, mencapai 100 ekor setiap malam. Sepuluh tahun kemudian (1992), jumlah penyu naik untuk bertelur tinggal 7-15 ekor pe malam, dan kini hanya tiga sampai lima ekor per malam.
“Penyu hanya akan bertelur di mana dulu dia menetas. Penyu yang bertelur di Bengkaru akan kembali ke Bengkaru untuk bertelur jika dewasa. Kalau telurnya diambil terus, keberlanjutan penyu itu tentu akan musnah,” kata Tachsis. Dalam surat perjanjian kontrak antara Risman dan Pemkab Singkil disebutkan, pihak pengelola hanya diperbolehkan mengambil 50 persen telur penyu yang berada di titik ketiga pada garis pantai. Namun, pada praktiknya, dengan hak pengelolaan itu Sumali bebas mengambil dan menjual telur penyu dari semua penyu yang mendarat di Pulau Bengkaru.
Dua orang suruhan Sumali terlihat mengambil semua telur penyu hijau yang malam sebelumnya bertelur, yaitu sekitar 350 butir dari tiga sarang. “Satu malam ada tiga hingga empat penyu hijau dengan jumlah telur sekitar 350-900 butir. Selama November hingga Januari tiap malam juga ada penyu belimbing yang bertelur,” kata dia.
Menurut Sumali, dia tidak mengambil telur penyu belimbing.
“Telur penyu belimbing saya tangkarkan. Ini inisiatif saya sendiri. Pengusaha yang lama bahkan mengambil seluruh telur penyu, termasuk penyu belimbing. Pemerintah sebenarnya tak ambil pusing dan tak membantu penangkaran ini,” katanya. Meskipun demikian, pernyataan Sumali itu masih patut diragukan. Mungkinkah konservasi dilakukan oleh pengusaha telur penyu? “Saya pengusaha, tentu tak mau rugi. Jika telur yang saya ambil tak lagi sesuai dengan biaya yang saya keluarkan, hak pengelolaan ini akan kami lepas kepada orang lain,” katanya kemudian.
Siang itu, saat Kompas ke Bengkaru, telur-telur penyu belimbing yang ditangkarkan Sumali ditemui dalam keadaan membusuk. “Dia tak tahu cara menangkarkan telur penyu. Masa inkubasi telur penyu hanya beberapa menit, tetapi dia memindahkan telur penyu itu ke tempat penangkaran baru pada pagi harinya sehingga telur rusak,” kata Tachsis.
Sulit memang menyandingkan konservasi dengan bisnis penjualan telur penyu. Konservasi hanya mungkin jika disandingkan dengan kegiatan wisata ekologi. Dan, hal ini sebenarnya sudah pernah dilakukan di Bengkaru. Menurut Tachsis, pada era tahun 1997 hingga awal tahun 2001, penyu-penyu di Pulau Bengkaru pernah dikonservasi. Saat itu telur penyu di Bengkaru tak boleh diambil. Anders de Vos atau Mahmud Bengkaru, seorang warga Swedia, menjadi pelopor konservasi itu dengan mendirikan Yayasan Pelestarian Penyu di Pulau Banyak.
“Yang dijual saat itu adalah wisata, termasuk wisata melihat penyu bertelur. Tiap hari ada turis asing yang datang. Sejumlah mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala juga datang melakukan penelitian. Telur-telur penyu itu aman selama empat tahun,” kata Tachsis yang ketika itu menjadi salah satu ketua yayasan itu.
Mahmud Bengkaru, menurut Tachsis, juga mendirikan pondok-pondok untuk wisatawan dan kegiatan penelitian di Bengkaru. “Salah satu pondok itu kini digunakan untuk menginap para pencari telur,” kata Tachsis.
Namun, ketika suasana politik di Aceh kian memanas menyusul diberlakukannya status darurat militer, wisatawan tak bisa lagi masuk ke Aceh. Mahmud Bengkaru pun termasuk yang diharuskan pergi dari Bengkaru. Sejak itulah Pulau Bengkaru secara berganti-ganti jatuh ke sejumlah pengusaha untuk diambil telur penyunya.
Terkait penjualan telur penyu oleh pengusaha atas seizin Pemkab Singkil, Pejabat Sementara Gubernur NAD Mustafa Abubakar berjanji segera menghentikan hal itu. Dia juga berjanji akan mengedepankan konservasi penyu di pulau itu.
Adakah janji-janji itu akan terbukti sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kelestarian hewan yang hampir punah itu? Atau, apakah air mata penyu-penyu itu hanya akan menjadi sia-sia…?

8 respons untuk ‘Air Mata Penyu Hijau Pulau Bangkaru

    Penyoex said:
    03/10/2007 pukul 16:47

    ketika anak2 kita teLah dewasa, mereka akan akan bertanya : “seperti apakah rupa Penyu???
    dan kita akan menjawab tidak tahu karena mereka sudah punah dari Bumi”

    so pLease, protect them

    Suka

    acehsingkil responded:
    19/11/2007 pukul 14:12

    To Sdr. Penyoex

    terima kasih atas dukungan semangatnya..
    semoga saja kita (terutama yg di aceh singkil) mampu memprotect kelestarian penyu..
    agar tidak perlu ada pertanyaan dari anak2 kita tentang bagaimana rupa penyu…
    amieen…

    Suka

    Yunaladi said:
    15/10/2008 pukul 12:49

    wah jadi ingat pulau Bangkaru nich,,Salah satu pulau yang mempunyai banyak biota lautnya dan ikan-ikan karang dan didukung oleh air yg jernih merupakan tempat yang cocok untuk menyelam di Kep Banyak.

    Salam

    Yoel
    Denpasar

    Suka

    andretaufan said:
    01/04/2009 pukul 01:58

    bagaimana skrg nasib penyu-penyu itu saudara…

    saya pernah ke pulau ini di tahun 2003…

    salam…

    Suka

    andre framanca said:
    05/04/2009 pukul 16:22

    tolong selamatkan penyu2 itu,,,,

    jangan sampai mereka punah,,,,,

    Suka

    falltara said:
    12/04/2009 pukul 01:19

    wew..
    seandainya ‘pajak’ yang mereka keluarkan untuk instansi pemerintah tsb dialokasikan ke penangkaran, tentunya ga perlu ada kekhawatiran seperti ini..

    duw..duw… aku aja yang masih tetanggaan belom pernah liat, masa udah mau punah sih.. ~_~’

    reply from acehsingkil:

    Salam kenal buat Dina di Jogja,.
    makasih ya udah berkunjung, blognya http://faltara.wordpress.com jg bagus bgt.
    segera berkunjung ke aceh singkil biar bisa bertemu dengan mereka..
    🙂

    Suka

    eva said:
    27/09/2009 pukul 01:04

    trus gak ada tindakan pemerintah buat menyelamatkan penyu2 malang itu???
    Apa sudah di laporkan ke pada yang berwenang, karena penyu-penyu itu harus di lindungi, kalo bisa harus ada penangkaran penyu yang bisa melindungi mereka sepenuhnya, agar tidak punah oleh orang yang tidak bertanggung jawab

    Suka

    julis siswanti said:
    07/02/2010 pukul 20:43

    saya sebagai sukarelawan penyu yg tinggal d jakarta…sekitar bulan juni thn 2010 akan d adakan festival penyu d pulau banyak…mari kita dukung…

    Suka

Tinggalkan komentar