Banyak Masalah di Kepulauan Banyak

Posted on Updated on

Pada awal tahun 1990-an Kepulauan Banyak, Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dikenal sebagai salah satu tujuan wisata. Selama tahun 1994, 473 wisatawan asing berkunjung ke kepulauan ini. Jumlah ini naik hingga 700 orang di tahun berikutnya. Tahun 1997, jumlah ini diperkirakan mencapai 6.000-10.000 orang.

Jumlah wisatawan ini lebih besar dari total jumlah penduduk di kepulauan ini—tahun 2005 jumlah penduduk sekitar 6.237 jiwa. Ada tiga pulau terbesar dan terpadat, yaitu Pulau Balai yang dihuni 1.436 jiwa, Pulau Teluk Nibung 860 jiwa, dan Pulau Tuangku yang berpenduduk 679 jiwa. Penduduk lainnya tersebar di sejumlah pulau kecil yang jumlahnya diperkirakan mencapai 99 pulau. Pulau Balai adalah yang terdekat dengan daratan Sumatera—empat jam perjalanan kapal dari Singkil.

Banyaknya wisatawan tak lepas dari berbagai potensi wisata yang ditawarkan kepulauan ini. Pulau Bengkaru, salah satu pulau terluar Indonesia, setiap malam puluhan ekor penyu langka mendarat dan bertelur.

Di antaranya penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Selain itu, perairan di sekitar Bengkaru memiliki gelombang tinggi yang digemari oleh para peselancar.

Perairan antarpulau menyimpan kekayaan terumbu karang dan aneka jenis ikan. Sebuah surga bagi penyelam. Sementara pantainya berpasir putih. Kawasan ini juga dikenal sebagai penghasil lobster.

Dulu, setiap hari ada wisatawan asing minta diantar keliling pulau. Mereka biasanya menyelam dan sebagian berselancar di sekitar Bengkaru. Mereka menginap berhari-hari sehingga ada lapangan kerja bagi masyarakat, kata Safnil (41), Sekretaris Kecamatan Kepulauan Banyak.

Konflik

Sejak konflik berkecamuk di Aceh, semua keindahan itu terabaikan. Wisatawan menghilang, terutama wisatawan asing, karena saat itu sempat ada larangan bagi warga asing masuk ke Aceh.

Kini tinggal satu hingga dua wisatawan berselancar di Bengkaru. Pariwisata di Kepulauan Banyak pun terus meredup dan padam setelah gempa keras 28 Maret 2005.

Akibat gempa, pulau di pantai barat Pulau Sumatera didera problem ekologi.

Pascagempa, sebagian pulau tenggelam hingga 1,5 meter, bahkan pulau-pulau kecil lenyap. Tanaman bakau dan kelapa di pantai mati akibat hantaman tsunami. Dahan-dahan bakau dan batang kelapa mengering hingga kini masih terlihat, menjadi jejak bencana. Populasi kepiting dan udang menyusut.

Di Pulau Balai, penurunan muka daratan menyebabkan ratusan rumah tenggelam. Jalan utama terendam air hingga satu meter saat pasang.

Ratusan warga mengungsi, membangun gubuk darurat di tengah pulau yang aman dari air laut. Sebagian warga mencoba menimbun jalan-jalan yang terendam air laut, dan sebagian mulai membangun rumah di lokasi yang aman. Pembangunan ini membawa masalah.

Warga menimbun jalan dan membangun fondasi dengan terumbu karang yang selama ini merupakan urat hidup mereka.

Terumbu karang adalah tempat bersarang lobster dan aneka jenis ikan karang yang menjadi komoditas penting.

Terumbu karang juga menyelamatkan kepulauan ini dari empasan tsunami.

Namun, pemandangan warga mengambil terumbu karang dari dalam laut kini menjadi pemandangan biasa. Aneka jenis terumbu karang, seperti Poritas spp, Acropora spp, serta jenis karang tanduk dihancurkan dan dijadikan batu uruk jalan.

Alasan semuanya itu adalah, ongkos mendatangkan bahan bangunan dari luar kepulauan amatlah mahal. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pun menggunakan terumbu karang. Misalnya dermaga es oleh Dinas Perikanan tahun silam, juga proyek pengerasan jalan oleh pemerintah setempat, kata Achmad Tachsis, Staf Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) NAD yang bertugas dan tinggal di Kepulauan Banyak.

Secara tradisional, warga sudah biasa memanfaatkan terumbu karang untuk membangun rumah dan jalan. Akan tetapi, saat pascabencana, kegiatan ini semakin marak.

Tachsis mengatakan, pemerintah seharusnya membuat kebijakan berwawasan kepulauan karena lokasi dan struktur geologis kepulauan yang spesifik.

Di Kepulauan Banyak tidak ada material yang bisa dipakai sebagai bahan bangunan, seperti pasir, semen maupun batu bata.

Sementara, Tak mungkin warga mampu mendatangkan material dari luar kepulauan karena harganya melonjak enam kali lipat. Ongkos membawanya sangat mahal, katanya.

Selama ini warga tergantung pada angkutan kapal dari Singkil dengan ongkos Rp 25.000 sekali jalan ditambah barang Rp 10.000. Jika sewa, ongkosnya Rp 600.000 sekali jalan. Kapal feri penumpang dari dan ke Singkil hanya dua kali seminggu. Saat ini kapal feri tak bisa merapat di pelabuhan karena perubahan permukaan laut sehingga warga tak bisa bawa banyak barang.

Menurut Tachsis, ketersediaan angkutan laut yang murah untuk membawa material bangunan dari luar kepulauan sangat mendesak. Jika tidak, perusakan terumbu karang akan terus terjadi. Saat ini di Aceh ada proses rekonstruksi besar-besaran, tetapi saya tidak melihat upaya ini dilakukan di Pulau Banyak. Padahal, ratusan warga rumahnya tak bisa dipakai lagi. Rekonstruksi sepertinya belum menyentuh pulau-pulau kecil terpencil, katanya. Getir terdengar.

By Ahmad Arif, www.kompas.com

8 respons untuk ‘Banyak Masalah di Kepulauan Banyak

    asrul wahyudi said:
    19/12/2007 pukul 02:23

    bagus banget. saya pns aceh singkil ingin masuk tim promo wisata aceh singkil gimana caranya

    Suka

    asrul wahyudi said:
    19/12/2007 pukul 02:23

    hp saya 081397506660 dan 085664133833

    Suka

    KAMSAS JAKARTA said:
    10/05/2008 pukul 06:56

    bagus juga ni…
    kapan2 kunjungi juga kita di kamsas.blogspot.com di tunggu ya

    Suka

    zulkarnain said:
    22/04/2009 pukul 21:03

    setelah saya membaca artikel ini, saya sangat prihatin atas kurang tanggapnya pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat tersebut sehingga alam juga yang jadi korbannya…..

    Suka

    riza firmansyah said:
    12/01/2011 pukul 12:23

    assalam…
    ada yang tau statistik kunjungan wisatawan ke pulau banyak yang terbaru? atau peta kecamatan pulau banyak?
    thx atas bantuannya..

    acehsingkil reply:

    Waalaikumslm…,. adakah yg bisa membantu sdr Riza??

    Suka

    bambang said:
    06/05/2011 pukul 23:41

    kasian pulau banyak…

    Suka

    deni said:
    27/12/2012 pukul 09:18

    ane baru dari kepulauan banyak. indahnya luar biasa. pembangunan pasca tsunami juga berjalan dgn baik. dermaga sudah berfungsi. jalan2 sudah diperbaiki. dan benar kata penulis, pembangunan harus mengorbankan karang2 di sekitar pulau banyak. Tapi alhamdulillah, karang2 baru sudah mulai hidup kembali, dan ikan2 karang yg indah sudah gampang ditemui di perairan kepulauan banyak. semoga 5 – 10 tahun lagi, karang2 baru sudah kembali seperti sedia kala. Hidup pulau banyak. 🙂

    Suka

    yoppiyolanda said:
    09/10/2017 pukul 15:20

    Halloo admin Aceh Singkil. saya adalah salah satu anak kelahiran aceh singkil dan saya bangga dengan singkil, walaupun orang-orang mengatakan bahwa aceh singkil kota tertinggal, tapi saya jatuh cinta dengan ke asrian alam singkil dan masyarakat yg masih bergotong royong. saya berencana mengangkan potensi pariwisata Pulau Banyak di Tugas Akhir saya. mohon dukungan dan bantuan atau sarannya dong untuk strategi pengembangan wisata pulau banyak agar dapat lebih berkembang lagi. terimakasiih 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar