Month: Agustus 2007

Habitat Penyu Hijau Terancam

Posted on Updated on

Pengelolaan Pulau Bengkaru di Kepulauan Banyak, Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, perlu dievaluasi. Sebab, pulau tempat bertelur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) itu ternyata diserahkan pemerintah kabupaten kepada pengusaha telur penyu.

Setiap hari sekitar seribu telur penyu hijau dan penyu belimbing dari salah satu pulau terluar di Indonesia yang berjarak sekitar 58 mil dari kota Singkil itu diambil dan dijual bebas oleh pengusaha yang memenangi lelang. Ini bukan mustahil mengancam habitat penyu yang terancam punah tersebut.
Sumali (36), pengelola Pulau Bengkaru (12.000 hektar), yang ditemui baru-baru ini mengatakan, setiap bulan ia menyetor Rp 1 juta kepada Dinas Pendapatan Kabupaten Singkil atas hak pengelolaan telur penyu di pulau itu.

Sumali juga mengaku mengeluarkan uang Rp 1,6 juta per bulan untuk sejumlah pejabat di Kecamatan Pulau Banyak hingga Kabupaten Singkil. Saya menjalankan hak mengelola telur penyu di Bengkaru, yang kontraknya atas nama adik saya, Risman. Pengambilan telur penyu sudah berlangsung lama, dan pengusaha yang menang kontrak berganti-ganti. Kami baru sekali memenangi kontrak, kata Sumali.

Dalam Surat Perjanjian Kontrak Nomor 973/475/2005 yang ditandatangani Risman (33) selaku pengusaha dan Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Singkil Sjamsuddin Rizzard atas nama Bupati Singkil pada 23 Oktober 2005, Risman diperbolehkan mengambil 50 persen telur penyu di titik ketiga pada garis pantai.

Kontrak yang akan berakhir November 2006 itu juga menyebutkan, Risman harus membayar Rp 1 juta per bulan kepada Pemerintah Kabupaten Singkil. Sumali mengaku bebas mengambil dan menjual telur penyu dari Pulau Bengkaru.

Seperti terlihat pekan lalu, dua orang suruhan Sumali mengambil semua telur penyu hijau yang ada di tiga sarang. Malam sebelumnya, penyu yang ada di kawasan itu bertelur sekitar 350 butir.

Pejabat Sementara Bupati Singkil Azmi mengatakan, penjualan telur penyu dibuat oleh bupati lama. Saya menjabat untuk sementara, sejak Juni 2005, katanya.

Mengenai kontrak terakhir yang ditandatangani pada Oktober 2005, Azmi mengatakan, ia tidak diberi tahu oleh bawahannya mengenai hal itu. Secara pribadi saya tidak tahu, tetapi akan saya selidiki. Pengelolaan penyu di Bengkaru tidak dibenarkan karena penyu harus dikonservasi, ucapnya.

Muhammad Tachsis, pegawai Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Nanggroe Aceh Darussalam di Kepulauan Banyak, mengatakan, Pulau Bengkaru sudah ditetapkan sebagai kawasan KSDA sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 12/KPTS/II/1987.
Pengambilan telur penyu hijau dan penyu belimbing juga melanggar undang-undang. Namun, kami tak bisa menghentikan pengambilan telur penyu karena pemerintah kabupaten yang melelang kepada pengusaha. Jika tak segera dihentikan, keberadaan penyu langka di Bengkaru akan punah, kata Tachsis. (Kompas)

Sumber: www.alumni-ipb.or.id

Penyu Langka yang Terancam Punah

Posted on Updated on

PASIR putih membentang sepanjang pantai Pulau Bangkaru. Ombak kecil yang mendesir di bibir pantai membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati pemandangan indah nan menawan di pulau asing itu. Di balik keindahan itu, Pulau Bangkaru ternyata menyimpan segudang masalah.

Habitat Penyu Hijau dan Penyu Belimbing yang ada di Pulau Bangkaru, Kepulauan Banyak, Aceh Singkil, terancam punah. Padahal, dua jenis penyu itu merupakan spesies langka di Indonesia. Kepunahan dua jenis penyu itu disebabkan telur-telur yang dihasilkan penyu banyak dikonsumsi manusia.

Telur yang dihasilkan penyu belimbing dan hijau berkisar antara 250 dan 300 biji dalam semalam. Penyu-penyu itu bertelur di sepanjang pantai pasir putih yang terhampar sepanjang 1.300 meter yang ada di Pulau Bangkaru. Setiap malam, warga di sana berburu telur penyu untuk dikonsumsi.

Akibat perburuan telur penyu hijau dan belimbing ini, kelangsungan hidup kedua penyu langka di Pulau Bangkaru ini pun terancam punah. Ironisnya lagi, di saat penyu-penyu itu terancam punah, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil malah menyewakan pengelolaan pulau tersebut kepada Rosmali, yang lebih dikenal dengan sebutan Juragan Mali. Kini, Juragan Mali lah yang memasarkan telur-telur penyu langka itu.

Sebagai pengusaha yang memenangkan tender pengelolaan pulau tersebut sejak empat bulan lalu, Juragan Mali harus menyetor Rp 1.000.000 per bulan kepada Pemkab Aceh Singkil, yang nantinya masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Setelah menandatangani “kontrak” dengan Dinas Pendapatan Daerah, jadilah Juragan Mali sebagai penguasa Pulau Bangkaru. Dia juga menjadi juragan telur penyu. Pulau Bangkaru itu dijaga dua pekerja Juragan Mali. Sementara dia, sepekan sekali singgah ke pulau terluar itu. Setiap singgah di Bangkaru, dia membawa serta 5.000 hingga 6.000 butir telur, yang dijual Rp 700 per butirnya. Selain dipasarkan di Singkil, telur-telur itu juga dipasarkan ke Sibolga Provinsi Sumatera Utara, melalui perantara para nelayan.

Juragan Mali diharuskan menyetor Rp 1.600.000 setiap bulannya ke pihak kecamatan dan tiga perangkat hukum di Pulau Balai. “Ke Polsek Pulau Banyak, Pos TNI AL, dan Koramil 01 Pulau Balai. Selain uang keamanan, setiap bulan harus mengantarkan 50 butir telur penyu ke Muspika,” kata Juragan Mali kepada acehkita.com dan sebuah media nasional, pekan lalu.

Lantas, adakah upaya untuk menjaga kelangsungan hidup penyu langka?
Mali menyebutkan, pihaknya telah melakukan penangkaran di pulau itu untuk melestarikan penyu. Ada 11 sarang yang telurnya ditangkarkan. Namun upaya itu akan sia-sia lantaran cara penangkarannya tetap tidak efektif karena setelah menetas penyu-penyu muda dibawa dan dirawat di keramba miliknya. “Setelah agak besar baru dilepas lagi ke laut,” katanya. Usaha penangkaran yang dilakukan Juragan Mali tidak sebanding dengan pengambilan telur penyu yang sudah dilakukannya sejak empat bulan silam.

Bukan hanya Mali yang mengancam habitat penyu langka itu. Sebelumnya, telah banyak pengusaha yang mengeruk kekayaan alam Pulau Bangkaru. Selain telur, nelayan asal Sibolga, Sumatera Utara, juga menangkap penyu dewasa untuk dikonsumsi manusia. Penangkapan dilakukan dengan cara menyebarkan jaring ketika penyu “mendarat” ke pantai.

Pulau Bangkaru merupakan salah satu pulau yang terletak di gugusan Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Pulau ini mempunyai pemandangan wisata yang sangat menarik dipandang mata. Setiap pendatang yang berkunjung ke pulau ini, pasti akan terkagum-kagum pada keindahan yang disajikan pulau. Karenanya, tidak heran jika banyak pengusaha yang berebutan ini menguasai pulau yang berjarak 32 mil dari Kota Singkil, ibukota Kabupaten Aceh Singkil.

Lantas apa menariknya Bangkaru? Sebagai satu dari banyak pulau terluar di nusantara ini, Bangkaru telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi alam dan lingkungan oleh Menteri Kehutanan sejak tahun 1990. Selain itu, Pulau Bangkaru mempunyai pantai dengan ombak yang sangat bagus untuk berselancar.
“Ombaknya yang ada di Bali kalah jauh, apalagi yang ada di Pulau Nias,” kata Taksis, salah seorang warga yang kerap mengantarkan wisatawan asing ke pulau tersebut sekitar tahun 1970-1980-an.
Menurut Taksis, setiap tahunnya tidak kurang ada sekitar 6.000an wisatawan yang berwisata ke pulau tersebut. “Biasanya dua hingga tiga malam di sana. Bahkan, ada yang sampai habis visa baru pulang,” kenang Taksis.

Wartawan lokal acehkita.com dan nasional Kompas berkesempatan menuju kesana menapaki pulau “rebutan” itu. Pemandangan hutan alami yang disodorkan sungguh memanjakan mata; hutan perawan yang belum dijamah tangan nakal manusia serakah.
“Bule paling suka dengan tracking. Jadi hutan paling cocok untuk hobi itu,” kata Taksis.
Hanya ada satu pondok reot di pulau itu, yang memiliki sebuah sumur. “Dulu ada bangunan panjangnya 17 dan lebar 8 meter,” sebut Taksis yang bersama sejumlah warga Pulau Banyak lain, melalui sebuah yayasan, berusaha melestarikan lingkungan dan habitat penyu langka di Bangkaru. Yayasan yang disebut Taksis ini pernah mengelola Pulau Banyak selama tiga tahun. Pekerjaan utama yayasan itu adalah menyelamatkan penyu-penyu langka dari kepunahan. Upaya penyelamatan penyu itu, dilakukan warga dengan dibantu peneliti dan penyelamat penyu langka asal Swedia, Andreas de Fos, lebih dikenal dengan sebutan Mahmud Bangkaru.

Sayang, konflik bersenjata pada tahun 1999 memaksa Mahmud Bangkaru keluar dari Aceh. Akibatnya, yayasan itu tidak lagi berjalan karena terkendala biaya operasional. Sebab, sekali jalan untuk menjangkau Bangkaru, harus menghabiskan fulus berkisar antara Rp 800 ribu hingga sejuta rupiah.
“Dulu masih bisa ditutupi karena kita dibantu Mahmud dan para bule yang datang untuk liburan. Dia lihat kita melestarikan penyu dia bantu,” sebut Taksis.

Kini, kehidupan penyu tidak lagi terjaga. Ancaman kepunahan penyu langka itu sudah berada di depan mata. Taksis berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menyelamatkan penyu langka di sana. Jika tidak, berbilang tahun saja, Penyu Hijau dan Belimbing hanya akan tinggal nama saja, akibat keserakahan manusia.

By: Rasyid J

Sumber: www.acehkita.com

Air Mata Penyu Hijau Pulau Bangkaru

Posted on Updated on

Source : Kompas
Category : Species
Code : Edisi 9-22b
Date and Time of Publication : 03-August-06 — 07:07:34
Sumber: Kompas, 29 Mei 2006
Oleh: Ahmad Arif

Air mata penyu hijau menetes di sekeliling liang besar, tempat dia meletakkan telur-telurnya. Dengan air matanya itu, sang penyu berharap biawak, pemangsa alami telur penyu yang mengandalkan penciuman, akan kesulitan mencari posisi di mana telur-telur itu diletakkan. Penyu hijau (Chelonia mydas) yang panjangnya sekitar 80 sentimeter itu melangkah pelan meninggalkan Pantai Amandangan di Pulau Bengkaru, dan kembali ke Samudra Hindia. Malam yang dingin dan penuh perjuangan telah usai, dan sepertinya semuanya lancar.
Namun, ternyata tidak juga. Biawak mungkin saja tertipu, tetapi manusia tidak. Esok paginya, dua pencari telur penyu dengan mudah menemukan telur-telur itu. Dengan besi panjang yang ditusuk-tusukkan ke seputar liang berdiameter sekitar 1,5 meter itu, kedua pencari telur penyu di Pulau Bengkaru tak kesulitan menemukannya. Pagi itu, telur penyu hijau yang berhasil mereka kumpulkan dari tiga liang mencapai 350 butir.
Semua telur penyu itu mereka bawa ke gubuk kayu sekitar dua kilometer dari tempat pendaratan penyu-penyu itu. Di sana telur itu dibersihkan, dijemur beberapa saat, dan kemudian dimasukkan ke karung bersama telur penyu yang dikumpulkan hari-hari sebelumnya. Selain telur penyu hijau, Pulau Bengkaru juga menjadi tempat bertelur penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) yang sangat langka. “Seminggu sekali juragan Sumali akan mengambil telur ini sambil membawa perbekalan makanan, rokok, dan obat-obatan untuk kami,” kata salah seorang pencari telur itu. Juragan Sumali (36) adalah pengusaha lokal dari Pulau Balai, Kecamatan Kepulauan Banyak, Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Adiknya, Risman (34), menjadi pemegang kontrak pengelolaan telur penyu di Bengkaru dengan Pemerintah Kabupaten Singkil berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Nomor 973/475/2005 yang ditandatangani Risman selaku pengusaha, dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Singkil Sjamsuddin Rizzard atas nama Bupati Singkil, tanggal 23 Oktober 2005.
Selembar surat itulah yang membuat Risman dan Sumali serasa menjadi pemilik pulau itu—setidaknya hal itu yang diungkapkan penduduk lokal mengenai keduanya.
“Pengambilan telur penyu di Bengkaru tak melanggar aturan. Kami punya perjanjian kontrak dengan Pemkab Singkil,” kata Sumali. Katanya, tiap bulan dia harus menyetor Rp 1 juta ke Dispenda Kabupaten Singkil atas hak pengelolaan telur penyu di pulau seluas 12.000 hektar yang tak berpenghuni itu.
Sumali juga mengaku harus mengeluarkan Rp 1,6 juta setiap bulan untuk membayar sejumlah pejabat di lingkungan Kecamatan Pulau Banyak hingga di Kabupaten Singkil. Untuk mengambil telur penyu di Bengkaru yang berjarak sekitar 58 mil dari Singkil atau 36 mil dari Pulau Balai, dia harus mengeluarkan Rp 500.000 untuk membeli solar kapalnya.
Sumali membayar dua pekerjanya dengan membeli Rp 225 per butir telur yang mereka kumpulkan. Sumali kemudian menjual Rp 700 per butir telur kepada para pedagang di Singkil ataupun di Sibolga, Sumatera Utara. Di Medan, telur penyu itu dijual Rp 1.500-Rp 2.000 per butir.
“Sekarang keuntungannya semakin kecil. Jumlah penyu yang bertelur di Bengkaru semakin berkurang, satu malam sekarang rata-rata tiga hingga lima ekor sehingga tak setara dengan biaya operasional,” kata Sumali.

Terus menurun
Menurut catatan Muhammad Tachsis, pegawai Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) NAD yang bertugas di Kepulauan Banyak, tahun 1982 penyu yang bertelur di Pantai Amandangan, Pulau Bengkaru, mencapai 100 ekor setiap malam. Sepuluh tahun kemudian (1992), jumlah penyu naik untuk bertelur tinggal 7-15 ekor pe malam, dan kini hanya tiga sampai lima ekor per malam.
“Penyu hanya akan bertelur di mana dulu dia menetas. Penyu yang bertelur di Bengkaru akan kembali ke Bengkaru untuk bertelur jika dewasa. Kalau telurnya diambil terus, keberlanjutan penyu itu tentu akan musnah,” kata Tachsis. Dalam surat perjanjian kontrak antara Risman dan Pemkab Singkil disebutkan, pihak pengelola hanya diperbolehkan mengambil 50 persen telur penyu yang berada di titik ketiga pada garis pantai. Namun, pada praktiknya, dengan hak pengelolaan itu Sumali bebas mengambil dan menjual telur penyu dari semua penyu yang mendarat di Pulau Bengkaru.
Dua orang suruhan Sumali terlihat mengambil semua telur penyu hijau yang malam sebelumnya bertelur, yaitu sekitar 350 butir dari tiga sarang. “Satu malam ada tiga hingga empat penyu hijau dengan jumlah telur sekitar 350-900 butir. Selama November hingga Januari tiap malam juga ada penyu belimbing yang bertelur,” kata dia.
Menurut Sumali, dia tidak mengambil telur penyu belimbing.
“Telur penyu belimbing saya tangkarkan. Ini inisiatif saya sendiri. Pengusaha yang lama bahkan mengambil seluruh telur penyu, termasuk penyu belimbing. Pemerintah sebenarnya tak ambil pusing dan tak membantu penangkaran ini,” katanya. Meskipun demikian, pernyataan Sumali itu masih patut diragukan. Mungkinkah konservasi dilakukan oleh pengusaha telur penyu? “Saya pengusaha, tentu tak mau rugi. Jika telur yang saya ambil tak lagi sesuai dengan biaya yang saya keluarkan, hak pengelolaan ini akan kami lepas kepada orang lain,” katanya kemudian.
Siang itu, saat Kompas ke Bengkaru, telur-telur penyu belimbing yang ditangkarkan Sumali ditemui dalam keadaan membusuk. “Dia tak tahu cara menangkarkan telur penyu. Masa inkubasi telur penyu hanya beberapa menit, tetapi dia memindahkan telur penyu itu ke tempat penangkaran baru pada pagi harinya sehingga telur rusak,” kata Tachsis.
Sulit memang menyandingkan konservasi dengan bisnis penjualan telur penyu. Konservasi hanya mungkin jika disandingkan dengan kegiatan wisata ekologi. Dan, hal ini sebenarnya sudah pernah dilakukan di Bengkaru. Menurut Tachsis, pada era tahun 1997 hingga awal tahun 2001, penyu-penyu di Pulau Bengkaru pernah dikonservasi. Saat itu telur penyu di Bengkaru tak boleh diambil. Anders de Vos atau Mahmud Bengkaru, seorang warga Swedia, menjadi pelopor konservasi itu dengan mendirikan Yayasan Pelestarian Penyu di Pulau Banyak.
“Yang dijual saat itu adalah wisata, termasuk wisata melihat penyu bertelur. Tiap hari ada turis asing yang datang. Sejumlah mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala juga datang melakukan penelitian. Telur-telur penyu itu aman selama empat tahun,” kata Tachsis yang ketika itu menjadi salah satu ketua yayasan itu.
Mahmud Bengkaru, menurut Tachsis, juga mendirikan pondok-pondok untuk wisatawan dan kegiatan penelitian di Bengkaru. “Salah satu pondok itu kini digunakan untuk menginap para pencari telur,” kata Tachsis.
Namun, ketika suasana politik di Aceh kian memanas menyusul diberlakukannya status darurat militer, wisatawan tak bisa lagi masuk ke Aceh. Mahmud Bengkaru pun termasuk yang diharuskan pergi dari Bengkaru. Sejak itulah Pulau Bengkaru secara berganti-ganti jatuh ke sejumlah pengusaha untuk diambil telur penyunya.
Terkait penjualan telur penyu oleh pengusaha atas seizin Pemkab Singkil, Pejabat Sementara Gubernur NAD Mustafa Abubakar berjanji segera menghentikan hal itu. Dia juga berjanji akan mengedepankan konservasi penyu di pulau itu.
Adakah janji-janji itu akan terbukti sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kelestarian hewan yang hampir punah itu? Atau, apakah air mata penyu-penyu itu hanya akan menjadi sia-sia…?

Banyak Masalah di Kepulauan Banyak

Posted on Updated on

Pada awal tahun 1990-an Kepulauan Banyak, Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dikenal sebagai salah satu tujuan wisata. Selama tahun 1994, 473 wisatawan asing berkunjung ke kepulauan ini. Jumlah ini naik hingga 700 orang di tahun berikutnya. Tahun 1997, jumlah ini diperkirakan mencapai 6.000-10.000 orang.

Jumlah wisatawan ini lebih besar dari total jumlah penduduk di kepulauan ini—tahun 2005 jumlah penduduk sekitar 6.237 jiwa. Ada tiga pulau terbesar dan terpadat, yaitu Pulau Balai yang dihuni 1.436 jiwa, Pulau Teluk Nibung 860 jiwa, dan Pulau Tuangku yang berpenduduk 679 jiwa. Penduduk lainnya tersebar di sejumlah pulau kecil yang jumlahnya diperkirakan mencapai 99 pulau. Pulau Balai adalah yang terdekat dengan daratan Sumatera—empat jam perjalanan kapal dari Singkil.

Banyaknya wisatawan tak lepas dari berbagai potensi wisata yang ditawarkan kepulauan ini. Pulau Bengkaru, salah satu pulau terluar Indonesia, setiap malam puluhan ekor penyu langka mendarat dan bertelur.

Di antaranya penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Selain itu, perairan di sekitar Bengkaru memiliki gelombang tinggi yang digemari oleh para peselancar.

Perairan antarpulau menyimpan kekayaan terumbu karang dan aneka jenis ikan. Sebuah surga bagi penyelam. Sementara pantainya berpasir putih. Kawasan ini juga dikenal sebagai penghasil lobster.

Dulu, setiap hari ada wisatawan asing minta diantar keliling pulau. Mereka biasanya menyelam dan sebagian berselancar di sekitar Bengkaru. Mereka menginap berhari-hari sehingga ada lapangan kerja bagi masyarakat, kata Safnil (41), Sekretaris Kecamatan Kepulauan Banyak.

Konflik

Sejak konflik berkecamuk di Aceh, semua keindahan itu terabaikan. Wisatawan menghilang, terutama wisatawan asing, karena saat itu sempat ada larangan bagi warga asing masuk ke Aceh.

Kini tinggal satu hingga dua wisatawan berselancar di Bengkaru. Pariwisata di Kepulauan Banyak pun terus meredup dan padam setelah gempa keras 28 Maret 2005.

Akibat gempa, pulau di pantai barat Pulau Sumatera didera problem ekologi.

Pascagempa, sebagian pulau tenggelam hingga 1,5 meter, bahkan pulau-pulau kecil lenyap. Tanaman bakau dan kelapa di pantai mati akibat hantaman tsunami. Dahan-dahan bakau dan batang kelapa mengering hingga kini masih terlihat, menjadi jejak bencana. Populasi kepiting dan udang menyusut.

Di Pulau Balai, penurunan muka daratan menyebabkan ratusan rumah tenggelam. Jalan utama terendam air hingga satu meter saat pasang.

Ratusan warga mengungsi, membangun gubuk darurat di tengah pulau yang aman dari air laut. Sebagian warga mencoba menimbun jalan-jalan yang terendam air laut, dan sebagian mulai membangun rumah di lokasi yang aman. Pembangunan ini membawa masalah.

Warga menimbun jalan dan membangun fondasi dengan terumbu karang yang selama ini merupakan urat hidup mereka.

Terumbu karang adalah tempat bersarang lobster dan aneka jenis ikan karang yang menjadi komoditas penting.

Terumbu karang juga menyelamatkan kepulauan ini dari empasan tsunami.

Namun, pemandangan warga mengambil terumbu karang dari dalam laut kini menjadi pemandangan biasa. Aneka jenis terumbu karang, seperti Poritas spp, Acropora spp, serta jenis karang tanduk dihancurkan dan dijadikan batu uruk jalan.

Alasan semuanya itu adalah, ongkos mendatangkan bahan bangunan dari luar kepulauan amatlah mahal. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pun menggunakan terumbu karang. Misalnya dermaga es oleh Dinas Perikanan tahun silam, juga proyek pengerasan jalan oleh pemerintah setempat, kata Achmad Tachsis, Staf Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) NAD yang bertugas dan tinggal di Kepulauan Banyak.

Secara tradisional, warga sudah biasa memanfaatkan terumbu karang untuk membangun rumah dan jalan. Akan tetapi, saat pascabencana, kegiatan ini semakin marak.

Tachsis mengatakan, pemerintah seharusnya membuat kebijakan berwawasan kepulauan karena lokasi dan struktur geologis kepulauan yang spesifik.

Di Kepulauan Banyak tidak ada material yang bisa dipakai sebagai bahan bangunan, seperti pasir, semen maupun batu bata.

Sementara, Tak mungkin warga mampu mendatangkan material dari luar kepulauan karena harganya melonjak enam kali lipat. Ongkos membawanya sangat mahal, katanya.

Selama ini warga tergantung pada angkutan kapal dari Singkil dengan ongkos Rp 25.000 sekali jalan ditambah barang Rp 10.000. Jika sewa, ongkosnya Rp 600.000 sekali jalan. Kapal feri penumpang dari dan ke Singkil hanya dua kali seminggu. Saat ini kapal feri tak bisa merapat di pelabuhan karena perubahan permukaan laut sehingga warga tak bisa bawa banyak barang.

Menurut Tachsis, ketersediaan angkutan laut yang murah untuk membawa material bangunan dari luar kepulauan sangat mendesak. Jika tidak, perusakan terumbu karang akan terus terjadi. Saat ini di Aceh ada proses rekonstruksi besar-besaran, tetapi saya tidak melihat upaya ini dilakukan di Pulau Banyak. Padahal, ratusan warga rumahnya tak bisa dipakai lagi. Rekonstruksi sepertinya belum menyentuh pulau-pulau kecil terpencil, katanya. Getir terdengar.

By Ahmad Arif, www.kompas.com